Selasa, 26 Juni 2012

3. Ahlul Bait



Drs. St. MUKHLIS DENROS

Islam mengajarkan kepada kita bahwa sahabat dan keluarga nabi Muhammad adalah orang-orang mulia karena keislaman, keimanan, ketaqwaan dan ketinggian akhlak mereka. Kemuliaan itu bisa diraih oleh siapapun termasuk ummat islam lainnya, tapi posisi sebagai keluarga atau ahlul bait tidaklah semua orang, ini hanyalah sebuah posisi saja yang ditakdirkan Allah, ternyata banyak juga dari keluarga nabi yang ingkar dan kafir kepada ajaran Islam yang disampaikan sebagaimana Abu Thalib dan Abu Jahal. Ahlul bait adalah julukan khusus kepada keluarga Rasulullah, dalam tulisannya Ahmad Hamidin As-Sidawy menjelaskan;

Di antara bukti keimanan seseorang muslim adalah mencintai ahlul bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena mencintai ahlul bait merupakan pilar kesempurnaan iman seorang muslim. Pernyataan cinta kepada ahlul bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sekarang tidak hanya datang dari kalangan ahlus Sunnah semata, akan tetapi juga didengungkan oleh beberapa kelompok Ahlul bid’ah seperti Syiah dan yang sealiran dengan mereka, mereka lakukan hal itu dalam rangka mengelabui dan menipu umat Islam sehingga mereka bingung dan tidak mengenal kebejatan dan kebencian mereka terhadap Ahulul bait, khususnya Syiah yang tidak kalah hebatnya dalam mempropagandakan pernyataan cinta mereka kepada ahlul bait sehingga seakan-akan merekalah satu-satunya kelompok yang paling mencintai Ahlul bait.

Secara bahasa, kata الأَهْل berasal dari أَهْلاً وَ أُهُوْلاً أَهِلَ - يَأهَلُ = seperti أَهْلُ المْكَاَن berarti menghuni di suatu tempat . أَهْلُ jamaknya adalah أَهْلُوْنَ وَ أَهْلاَتُ وَ أَهَاِلي misal أَهْلُ الإِسْلاَم artinya pemeluk islam, أَهْلُ مَكَّة artinya penduduk Mekah. أَهْلُ الْبَيْت berarti penghuni rumah . Dan أَهْلُ بَيْتِ النَّبي artinya keluarga Nabi yaitu para isrti, anak perempuan Nabi serta kerabatnya yaitu Ali dan istrinya.
Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas, keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib, serta para istri beliau dan anak anak mereka.

Memang ada perselisihan, apakah para istri Nabi termasuk Ahlul Bait atau bukan ? Dan yang jelas bahwa arti Ahlu menurut bahasa (etimologi) tidak mengeluarkan para istri nabi untuk masuk ke Ahlul Bait, demikian juga penggunaan kata Ahlu di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak mengeluarkan mereka dari lingkup istilah tersebut, yaitu Ahlul Bait.Allah berfirman : Dan taatlah kalian kepada Allah dan rasulNya,sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan rijs dari kalian wahai ahlul bait dan memberbersihkan kalian sebersih-bersihnya. [Al-ahzab : 33]

Ayat ini menunjukan para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait. Jika tidak, maka tak ada faidahnya mereka disebutkan dalam ucapan itu (ayat ini) dan karena semua istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait sesuai dengan nash Al Quran maka mereka mempunyai hak yang sama dengan hak-hak Ahlul Bait yang lain.
Berkata Ibnu Katsir: “Orang yang memahami Al Quran tidak ragu lagi bahwa para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam Ahlul Bait” dan ini merupakan pendapat Imam Al-Qurtuby, Ibnu Hajar, Ibnu Qayim dan yang lainnya.
Ibnu Taimiyah berkata: “Yang benar (dalam masalah ini) bahwa para istri Nabi adalah termasuk Alul Bait. Karena telah ada dalam hadits yang diriwayatkan di shahihaini yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari lafadz bershalawat kepadanya dengan: Ya Allah berilah keselamatan atas muhammad dan istri-istrinya serta anak keturunannya. [Diriwayatkan Imam Bukhari]

Demikian juga istri Nabi Ibrahim adalah termasuk keluarganya (Ahlu Baitnya) dan istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Luth juga termasuk keluarganya sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh Al Quran. Maka bagaimana istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan termasuk keluarga beliau ? !



Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa keluarga Nabi adalah para pengikutnya dan orang-orang yang bertaqwa dari umatnya, akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah dan telah di bantah oleh Imam Ibnu Qoyyim dengan pernyataan beliau bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang di haramkan shadaqah.

Setelah kita mengetahui siapa sebenarnya Ahlul Bait itu, perlu kita pahami bahwa istilah Ahlu Bait merupakan istilah syar’i yang dipakai dalam Al Quran maupun As Sunnah dan bukan merupakan istilah bid’ah. Allah berfirman tentang para istri Nabi :
Dan taaitlah kalian kepada Allah dan RasulNya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan memberbersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzab : 33]

Berkata syaikh Abdurrahman As Sa’di : Makna rijs adalah (Ahlul bait di jauhkan) segala macam gangguan, kejelekan dan perbutan keji.
Allah berfirman memerintah para istri Nabi : Dan ingatlah apa yang di bacakan di rumahmu dari ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). [Al Ahzab : 34]
Ibnu Katsir berkata: “yaitu kerjakanlah dengan apa yang di turunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasulnya berupa Al Quran dan As sunnah di rumah-rumah kalian. Berkata Qotadah dan yang lainnya “dan ingatlah dengan nikmat yang di khususkan kepada kalian dari sekalian manusia yaitu berupa wahyu yang turun ke rumah-rumah kalian tanpa yang lain.

Dalam sebuah hadis juga di jelaskan : Dari Zaid bin Arqom bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah: Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baitku (sampai tiga kali) maka Husain bin Sibroh (perawi hadits) bertanya kepada Zaid “Siapakah Ahlul Bait beliau wahai Zaid bukankah istri-istri beliau termasuk ahlil baitnya? Zaid menjawab para istri Nabi memang termasuk Ahlul Bait akan tetapi yang di maksud di sini, orang yang di haramkan sedekah setelah wafatnya beliau. Lalu Husain berkata: siapakah mereka beliau menjawab:“Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas ? Husain bertanya kembali Apakah mereka semuanya di haramkan zakat ? Zaid menjawab Ya… [Shahih muslim]
Dari sini jelas penggunaan istilah Ahlul Bait adalah istilah syari dan bermakna istri dan kerabat dekat beliau dari keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas yang merupakan keluarga bani Hasyim.

Sedangkan Ahlul Bait menurut orang Syiah hanyalah sahabat Ali, kemudian anaknya, Hasan bin Ali dan putrinya yaitu Fatimah, mereka dengan terang-terangan mengatakan bahwa semua pemimpin kaum muslimin selain Ali dan Hasan adalah thogut walaupun mereka menyeruh kepada kebenaran. Orang Syiah menganggap bahwa Khulafaur rasyidin adalah para perampas kekuasaan Ahlul Bait sehingga mereka mengkafirkan semua Khalifah, bahkan semua pemimpin kaum muslimin [15]. Tidak di ragukan lagi, bahwa mereka telah menyimpang dari Aqidah yang lurus, yaitu Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Maka kita katakan bahwa membatasi Ahlul bait itu hanya terbatas pada Ali, Hasan bin Ali serta Fatimah, yang keduanya adalah anak Sahabat Ali adalah merupakan batasan yang tidak ada sandaran yang benar baik dari Al-Quran maupun As sunnah. Sesungguhnya pembatasan ini adalah merupakan perkara bid’ah yang tidak di kenal oleh ulama salaf sebelumnya.

Anggapan ini sebenarnya hanyalah muncul dari hawa nafsu orang-orang Syiah karena dendam kesumat serta kedengkian mereka terhadap Islam dan Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga orang- orang Syiah sejak zaman sahabat tidak menginginkan kejayaan Islam dam kaum muslimin, dan di kenal sebagai firqoh yang ingin merongrong Islam dan ingin menghancurkannya dengan segala cara dan salah satu cara mereka adalah berlindung dibalik slogan cinta ahli bait Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun secara hakikat sebenarnya merekalah yang membenci dan memusuhi mereka.[Ahmad Hamidin As-Sidawy ,Mengenal Ahlul Bait Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Almanhaj.com Kamis, 30 Desember 2010 22:45:51 WIB].

Ahlus sunnah wal jamaah sejak zaman dahulu hingga kapanpun mencintai keluarga Rasulullah sesuai dengan tuntutan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kecintaan kepada mereka karena keimanan yang ditanamkan bahkan tidak ada ajaran yang mengajak ummat ini agar membenci keluarga Nabi kecuali yang disponsori oleh kaum munafiq yang kita kenal dengan rafidhah.

Secara garis besar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan tentang siapa Rafidhah itu. Rafidhah ialah kaum yang membenci dan melaknat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma (dua orang Khulafa’ur Rasyidin yang pertama dan kedua-pen). Oleh sebab itu, ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang siapakah orang Rafidhah?. Beliau menjawab: Yaitu yang mencaci maki Abu Bakar dan Umar. Karena caci-makian inilah mereka disebut Rafidhah. Sesungguhnya mereka telah menolak (rafadha) Zaid bin Ali (salah seorang keluarga Ali bin Abi Thalib-pen) ketika beliau menyatakan pujian dan kecintaannya kepada dua orang khalifah Abu Bakar dan Umar. Sedangkan kaum Rafidhah membenci keduanya. Maka barangsiapa yang membenci Abu Bakar dan Umar berarti ia seorang Rafidhah. Ada lagi yang mengatakan bahwa kaum Rafidhah disebut rafidhah karena mereka menolak (rafadha) Abu Bakar dan Umar.

Asal usul Rafidhah berasal dari kaum munafiqin dan orang-orang zindik (orang yang secara lahir seperti cinta kepada Islam, namun batinnya penuh kebencian terhadap Islam). Kelompok ini merupakan hasil rekayasa Ibnu Saba’ sang zindik. Mula-mula ia menampakkan sikap berlebih-lebihan (cinta secara over acting) terhadap Ali. Caranya, dengan menganggap Ali berhak menjadi Imam berdasarkan nash. Kemudian menganggap bahwa Ali adalah ma’shum (terjaga dari kesalahan).

Oleh sebab itu, ketika asas Rafidhah adalah kemunafikan, maka sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa : “Menyintai Abu Bakar dan Umar merupakan keimanan, sedangkan membenci keduanya merupakan kemunafikan. Menyintai Bani Hasyim (di antaranya al-Abbas) adalah keimanan, sedangkan membencinya berarti kemunafikan”
Ternyata yang benar-benar menyintai dan memberikan pembelaan serta loyalitas kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagai salah seorang tokoh terkenal Ahlus Sunnah, mengatakan bahwa : “Ahlus Sunah menyintai dan memberikan pembelaan kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta memelihara wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keharusan menyintai Ahlul Bait yang disampaikan di Ghadir Khum”, kemudian beliau memaparkan dalil-dalilnya.
Syaikh Shalih al-Fauzan, salah seorang tokoh Ahlu Sunnah zaman sekarang, menjelaskan bahwa : Ahlu Sunnah menyintai, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab yang demikian itu termasuk menghormati dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan demikian.

Dengan catatan, bila Ahlul Bait tersebut mengikuti Sunnah Nabi dan istiqamah berpijak pada ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu Ahlul Bait seperti al-Abbas beserta anak-anaknya, dan Ali bin Abu Thalib beserta anak-anaknya. Adapun kepada orang yang menyimpang dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak istiqamah berpijak pada ajaran Islam, maka menyintainya tidak boleh sekalipun ia termasuk Ahlul Bait.

Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan : Kita tidak boleh mengingkari orang-orang yang mewasiatkan agar berbuat baik dan berbuat ihsan kepada Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga agar menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab mereka adalah termasuk anak-anak keturunan keluarga suci, berasal dari sebuah keluarga paling mulia yang pernah ditemukan dipermukaan bumi, khususnya bila mereka mengikuti Sunnah Nabi yang Shahih, seperti ditauladankan oleh para pendahulunya yaitu al-Abbas beserta anak-anaknya dan Ali beserta keluarganya Radhiyallahu 'anhum.
Yang jelas, tidak pernah ada bukti bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah pernah mengotori lidahnya dengan cacian dan makian terhadap Ahli Bait Rasulullah n . Juga tidak pernah ada bukti bahwa mereka mengotori tindakan mereka dengan perbuatan lancang atau perbuatan jahat terhadap Ahli Bait beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab prinsip Ahlu Sunnah adalah menyintai, membela, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait, selama mereka (Ahli Bait) bukan orang-orang kafir atau ahli bid’ah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para Ulama Ahlu Sunnah.

Jadi, Ahlu Sunnah menyintai, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait karena dua hal : Pertama, karena keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua, karena hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tetapi Ahlu Sunnah tidak berkata seperti perkataan firqah Rafidhah, yaitu bahwa setiap yang menyintai Abu Bakar dan Umar berarti membenci Ali. Jadi menurut Rafidhah, tidak mungkin menyintai Ali sebelum membenci Abu Bakar dan Umar. Seolah-olah Abu Bakar dan Umar bermusuhan dengan Ali. Padahal riwayat telah mutawatir bahwa Ali bin Abi Thalib memuji-muji Abu Bakar dan Umar melalui mimbar.
Maka kita tegaskan, bahwa kita bersaksi dihadapan Allah, sesungguhnya kita menyintai Ahli Bait dan keluarga dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita mencintai mereka dalam rangka cinta kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” [Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin,Ahlus Sunnah Dan Ahlul Bait,Almanhaj.com Kamis, 30 Desember 2010 23:14:45 WIB].

Pendapat golongan Syi’ah yang fundamental adalah tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lainnya, khususnya dengan Abu Bakar dan Umar, bahkan mereka menganggap bahwa kedua sahabat itu telah merampas hak Ali sebagai pengganti nabi. Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed dalam tulisannya mengutip berbagai pendapat tentang hal itu, sebagaimana yang disampaikan di bawah ini;
Kaum muslimin (baca: para shahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah n adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku sebagai muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang Syi'ah. Uraian berikut mencoba membongkar berbagai kebohongan yang menjadi pijakan sikap mereka.
Ahlul Bait Mengakui Keabsahan Khilafah Abu Bakr Ash-Shiddiq.

Syubhat terbesar kaum Syi’ah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakr Ash-Shiddik . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakr z adalah tidak sah, karena Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar . Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka hembuskan di mana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh Syi'ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari orang-orang Persia ini selalu mengatasnamakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan pemahaman Syi'ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali atau Alawiyyin, kecuali yang Allah rahmati. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum Syi'ah -yang merupakan jelmaan kaum Majusi Persia- adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.

Biasanya mereka mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan mereka yaitu Nahjul Balaghah, yang berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan sya’ir-sya’ir yang semuanya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib . Penulis buku tersebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali tidak terima dengan keputusan para shahabat memilih Abu Bakr sebagai khalifah. Bahkan dinukil bahwa Ali mencaci dan mencerca Abu Bakr, Umar dan para shahabat yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiah dengan standar ilmu hadits.

Kitab ini -yang di kalangan kaum Syi'ah sejajar dengan Al-Qur’an- ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah Imamiyyah Rafidah yang bernama Al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi (meninggal th. 436 Hijriyah). Yang telah dinyatakan oleh para Ulama Ahlus Sunnah sebagai pendusta atas nama Ali bin Abi Thalib

. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata ketika membahas biografi orang ini sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Al-Imam Ali.”

Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah n. Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.

Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah angkat menjadi pemimpin:

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)

Juga harus ada pada seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang shalih:“Sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya`: 105)

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dzalim dari keturunannya.

Dari Ibnu Abbas c, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah n ketika sakitnya beliau menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan (yakni Ali), bagaimana keadaan Rasulullah n?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah, baik.” Maka Abbas bin Abdil Muththalib (paman Rasulullah n) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau demi Allah setelah tiga hari menjadi orang yang dipimpin. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah n akan wafat dalam sakitnya ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muththalib ketika akan wafatnya. Mari kita menemui Rasulullah n untuk menanyakannya, kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun untuk selain kita maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya.” Maka Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah n kemudian tidak beliau berikan kepada kita, maka manusia tidak akan memberikan kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari].

Sungguh sangat jelas sekali dengan riwayat ini, bahwa yang menolak untuk meminta wasiat justru Ali bin Abi Thalib sendiri. Tentunya banyak riwayat-riwayat lain tentang kejadian ini dan memang ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.

Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :
“Dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah n berkata kepadaku: “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan), kemudian seseorang berkata: “Aku lebih utama.” Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridhai kecuali Abu Bakr.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?![Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed, Khilafah Tidak Mesti Pada Ahlul Bait, www.asysyari’ah, Saturday,23 July 2011 02:21].

Begitu sejarah Islam diacak-acak oleh kepentingan hawa nafsu untuk menyesatkan ummat Islam dari ajaran yang semestinya sehingga keyakinan yang salah terhadap ahlul bait akan mempengaruhi pula terhadap keyakinan lainnya yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam, nampaknya musuh Islam itu sudah ada sejak dahulu yang diawali dari kebencian kaum munafiq sehingga mereka menyesatkan umat Islam dari agamanya kecuali orang-orang yang dirahmati Allah, namun demikian semakin hari kian nampak kebohongan yang dihembuskan Syi’ah yang mengatasnamakan ajaran Islam melalui ajarannya seperti nikah mut’ah, peringatan tanggal 1 Syura, ahlul bait dan persekongkolan mereka dengan Zionis Israel untuk menhancurkan kaum sunni dan ajarannya seperti di Iran dan Irak, Walahu a’lam, [Cubadak Solok, 17 Jumadil Akhir 1433.H/9 Mei 2012.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar