Rabu, 27 Juni 2012

5. Buya Hamka


Oleh Drs.St.MUKHLIS DENROS

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. [Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas].

Ada kisah menarik yang dialami oleh Buya Hamka ketika dipenjara di Suka Miskin, hal itu penulis copy paste dari tulisan Prof Dr Yunahar Ilyas di bawah ini;
Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.
Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.
Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. “Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.”
“Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.”

“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.
Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.
Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.[Prof Dr Yunahar Ilyas, Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi,republika.co.id.Sabtu, 26 November 2011 06:07 WIB].
Ulama yang kharismatik, teguh pendirian ini ketika duduk sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan Pluralisme khususnya tentang ikut merayakan Natal bagi ummat islam, sebagaimana yang diangkat oleh Adian Husaini di Hidayatullah.com;

Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 – sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif – bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih."
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan Al-Quran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad saw, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh bedanya dengan para pengusung paham Pluralisme Agama. Hamka sangat tegas dalam masalah keimanan. [“Hamka dan Pluralisme Agama”,hidayatullah.com. Senin, 04 Desember 2006].
Akhir-akhir ini kitapun disudutkan dengan adanya isu teroris, umat islamlah sebagai pelakunya, yang lebih ekstrimnya dikatakan bahwa pemicu gerakan kekerasan [teoris] yang disebut oleh pihak yang tidak suka dengan silam, sebutan itu mencemarkan makna jihad, berasal dari tokoh-tokoh yang berbau Wahabi, sebenarnya fitnah ini sudah ada sejak dahulu sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh Buya Hamka.
Belakangan ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan Ummat Islam agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama Wahabi menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh Ummat Islam itu sendiri.

Beberapa buku propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi, yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai dari pelosok pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi. Kasus terakhir adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam tabligh akbar FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?

Menarik memang menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru, melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai dengan lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya HAMKA. Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan independensinya sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang beliau merinci berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya telah berlangsung berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah dan diupayakan penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa yang pernah diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:

“Seketika terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang sedang berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah, permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu negeri, dia akan mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan. Sebab faham Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud, yaitu memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan vonis “Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah modus lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan dengan kepentingan dan arahan yang disetting oleh para Think Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”[Zulkarnain Khidir
Buya Hamka: Mereka Memusuhi Wahabi demi Penguasa Pro Penjajah, nahi mungkar.com.3 December 2011].

Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tujuh tokoh bangsa yang telah berjuang demi kepentingan negara. Tidak hanya mereka yang berjuang dengan senjata, tetapi juga melalui jalur politik dan bidang-bidang lainnya.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 113 TK 2011, berikut nama-nama pahlawan tersebut.
1. Alm Syafruddin Prawiranegara
2. KH. Idham Chalid (Kalsel)
3. Alm. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (Sumbar)
4. Alm. Ki Sarmidi Mangunsakoro (Yogyakarta)
5. Alm. I Gusti Ketut Pudja (Bali)
6. Alm. Sri Susuhunan Paku Buwono X (Jateng)
7. Alm. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyoni (Yogyakarta)

Pemberian tanda gelara diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli waris di Istana Negara 8/11.[ dakwatuna.com9/11/2011 | 12 Zulhijjah 1432 H].
Penganugerahan gelar pahlawan kepada tiga tokoh Islam Indonesia oleh pemerintah, mendapatkan apresiasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bertempat di Gedung MUI Pusat, Jakarta, MUI menggelar tasyakuran atas penganugerahan gelar pahlawan terhadap tiga tokoh Islam, yakni Mantan Ketua Umum MUI Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Mantan Presiden/Ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara dan Mantan Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid, Selasa (22/11/2011)."Kita ikut bersuka cita dengan penganugerahan gelar pahlawan kepada ketiga tokoh Islam ini. Kita bersyukur dan bangga memiliki pahlawan nasional seperti ketiga tokoh tersebut," kata Sekjen MUI, Ichwan Syam di sela-sela acara tasyakuran.

Ichwan turut mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Pahlawan dengan memilih ketiga tokoh Islam itu sebagai pahlawan nasional. Menurutnya, ketiga pahlawan nasional itu telah memberikan inspirasi bagi umat Islam.
Di tempat yang sama, Ketua MUI KH. Ma`ruf Amin, mengatakan, sebelum ada pengakuan dari negara, ketiga tokoh Islam itu merupakan pahlawan nasional dan tokoh agama. "Ada atau tidaknya penghargaan dari negara, mereka tetap pahlawan," kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu.
Menurut Ma'ruf, ketiga tokoh itu telah berjuang dan mengabdikan hidupnya dengan cara yang berbeda. "Mereka merupakan pejuang agama yang telah memberikan inspirasi bagi kita semua," katanya.

Sementara Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, menambahkan, dengan adanya penghargaan bagi ketiga tokoh itu menandakan adanya pengakuan dari negara terhadap peranan tokoh Islam."Dengan pengakuan ini umat Islam mendapat pengakuan di negerinya sendiri, hari ini dan ke depan produk warisan ini akan tetap besar," kata mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah ini.

Dalam kesempatan tasyakuran yang dihadiri oleh Sekjen Kementerian Agama (Kemenag) Bahrul Hayat dan anggota DPD AM Fatwa itu, MUI memberikan penghargaan kepada ketiga pahlawan nasional penghormatan yang diberikan langsung kepada masing-masing perwakilan keluarga pahlawan nasional itu.[MUI: Mereka Adalah Pahlawan dan Tokoh Agama, Suaraislam Shodiq Ramadhan | Selasa, 22 November 2011 | 16:47:39 WIB].
Sebuah seminar tentang Hamka baru-baru ini, tepatnya 25 Januari 2010 malam, diadakan di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), yang dibuka oleh YB Dato` Seri Utama Dr Rais Yatim, seorang Menteri di Malaysia dan dihadiri oleh berbagai ahli akademik dan tokoh lainnya.

Tidak ada pendewaan, pengagungan terhadap Hamka dalam seminar itu. Semua berjalan realistis dan apa adanya. Rusdhi Hamka, Prof. Dr Yunahar Ilyas, Dr Mochtar Naim umpamanya, lebih banyak menyingkap sisi hidup beliau sebagai manusia biasa dan normal. “Hamka kecil seorang yang “nakal”, malas sekolah, dan sebagainya,” katanya.
Namun menurut Dr Dato` Siddik Fadhil dari UKM, “tidak ada gunanya kita mengecil-ngecilkan orang besar dan membesar-besarkan orang kecil sebab itu hanya akan sia-sia saja, dan sememangnya Hamka adalah seorang tokoh besar yang menjadi kebanggaan orang Melayu.”

Kebesaran Hamka tidak membuat dia sombong dan ingin didewakan. Dia tidak suka orang mencium tangannya, meminum air sisanya, atau menjadikan air cuci kakinya sebagai ajimat, seperti yang sering berlaku pada sebagian orang, akibat belum habisnya pengaruh Siwa-Buddha di alam Nusantara ini. Bahkan dalam beberapa tulisannya Hamka sering mengatakan bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna, tambah Mochtar Naim.
Hamka adalah simbol persatuan dunia Melayu yang identik dengan Islam, khususnya Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia. Baginya ukhuwah Islamiyah dan tali persaudaraan di atas segala-galanya. Kalau beliau masih hidup, pasti dia sangat marah di saat dua negara yang notabenenya serumpun, memiliki hubungan persaudaraan yang dekat, dan seagama ini, mau berperang dan berbunuh-bunuhan hanya karena masalah tari pendet dan perkara remeh temeh lainnya.

Hamka dianggap sebagai seorang tokoh pejuang Bahasa Melayu yang menjadikannya sebagai bahasa pengantar dan bahasa ilmu, seperti yang telah dilakukan oleh ilmuwan silam, seperti Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani.
Bahasa Melayu dalam karya Hamka sangat tegas dan jelas, sehingga semua orang Melayu dapat memahami tulisannya. Ini tentu saja berlainan dengan ilmuwan saat ini yang menulis dalam bahasa Melayu Indonesia atau Malaysia yang hanya bisa dipahami oleh orang Malaysia saja atau oleh orang Indonesia saja.

Hamka lebih dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura, dan dunia Islam lainnya, dibanding di Indonesia sendiri. Beliau adalah seorang yang kritis terhadap penguasa yang gagal dan zalim. Karya-karya beliau masih menjadi rujukan utama hingga saat ini. Di masjid, surau, rumah, institusi pendidikan lainnya di Malaysia, kita akan dengan mudah menemukan buku beliau seperti “Tafsir al-Azhar”, “Tasauf Modern” atau novel “Dibawah Lindungan Ka’bah”, dan sebagainya. Bahkan seorang profesor senior di Universiti Malaya pernah mengatakan, “Walaupun sudah berpuluh kali membaca buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, namun saya masih ingin terus membaca, dan membacanya lagi.

Seorang Profesor lain di Universitas Malaya (UM) juga pernah mengatakan, “Saya banyak membaca buku karya Hamka, harapan saya suatu hari nanti bisa menulis sebuah novel sehebat Hamka, tetapi sampai saat ini saya belum mampu melakukannya.” Sebuah museum Hamka yang memuat berbagai karya dan peninggalan Hamka dapat kita temui di Maninjau Sumatera Barat saat ini. Museum itu terletak di bibir Danau Maninjau yang nyaman, tenang, asri, dan damai, dengan pemandangan dan suasana perkampungan yang menyejukkan jiwa. Walaupun museum itu sederhana, namun saya sangat kagum saat berkunjung pada tahun 2008 lalu.

Namun perlu diingat bahwa di museum, kuburan Hamka, dan ayahnya Dr Abdul Karim Amrullah, tidak ada manusia yang datang berziarah berdoa meminta keberkatan, murah rezeki, dijauhkan dari penyakit, dapat jodoh, apalagi meminta nomor di kuburannya. Barang-barang peninggalannya juga tidak dijadikan ajimat yang diperebutkan dan dikeramatkan. Beliau hanya manusia biasa yang diberi kelebihan oleh Allah, itulah yang tergambar di dalam benak kita di waktu berkunjung ke sana.[Afriadi Sanusi*Hamka: Hilang Belum Berganti, www.hidayatullah.comJum'at, 29 Januari 2010].

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. Walaupun Pemerintah Indonesia telah menganugerahinya gelar sebagai Pahlawan Nasional tapi seharusnya bukan hanya sebatas gelar, bagaimana kita sebagai ummat islam berupaya untuk mengikuti pemikirannya, mengikuti keteguhannya dalam memegang kebenaran dan menjaga kebersihan tauhid dalam kehidupan sehari-hari, semoga sejarah akan melahirkan kembali tokoh-tokoh sekaliber Hamka untuk memandu ummat ini ke jalan yang benar yaitu kemurnian Tauhid, Walahu a’lam, [Cubadak Solok, 19 Jumadil Akhir 1433.H/11 Mei 2012.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar