Rabu, 27 Juni 2012
4. Ali Bin Abu Thalib
Oleh Drs. Mukhlis Denros
Sahabat Nabi Muhammad yang paling muda, anak pamannya bernama Abi Thalib bahkan kelak jadi menantunya yang menyunting Fatimah sebagai isteri adalah Ali bin Abi Thalib. Banyak kisah yang mengungkapkan tentang dirinya. Sebagaimana yang ditulis oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini dalam buku Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra, penulis sadur dengan sedikit perubahan.
Ketika Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.
Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang."
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.
Sejak usia muda Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Ali r.a. dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu. Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad s.a.w.
Semua warisan yang telah diterima Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Ali r.a. dengan Allah s.w.t.[H.M.H. Al Hamid Al Husaini , Sejarah Hidup Ali bin Abi Thalib r.a. Lembaga Penyelidikan Islam ,Oktober 1981]
Sebuah perjuangan heroik yang ditampilkan Ali bin Abu Thalib adalah dikala terjadinya peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dalam sebuah buku dengan judul SEJARAH HIDUP MUHAMMAD yang ditulis Oleh : MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL menceritakan seluruh perjalanan hijrah itu.
RENCANA Quraisy akan membunuh Muhammad pada malam hari, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah dan memperkuat diri di sana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan menimpa perdagangan mereka dengan Syam sebagai akibatnya, beritanya sudah sampai kepada Muhammad. Memang tak ada orang yang menyangsikan, bahwa Muhammad akan menggunakan kesempatan itu untuk hijrah. Akan tetapi, karena begitu kuat ia dapat menyimpan rahasia itu, sehingga tiada seorangpun yang mengetahui, juga Abu Bakr, orang yang pernah menyiapkan dua ekor unta kendaraan tatkala ia meminta ijin kepada Nabi akan hijrah, yang lalu ditangguhkan, hanya sedikit mengetahui soalnya. Muhammad sendiri memang masih tinggal di Mekah ketika ia sudah mengetahui keadaan Quraisy itu dan ketika kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Dalam ia menantikan perintah Tuhan yang akan mewahyukan kepadanya supaya hijrah, ketika itulah ia pergi ke rumah Abu Bakr dan memberitahukan, bahwa Allah telah mengijinkan ia hijrah. Dimintanya Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya itu, yang lalu diterima baik oleh Abu Bakr.
Di sinilah dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya diperlukan. Tatkala kedua orang itu sudah siap-siap akan meninggalkan Mekah mereka sudah yakin sekali, bahwa Quraisy pasti akan membuntuti mereka. Oleh karena itu Muhammad memutuskan akan menempuh jalan lain dari yang biasa, Juga akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy untuk membunuhnya malam itu sudah mengepung rumahnya, karena dikuatirkan ia akan lari. Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan kepadanya. Dalam pada itu pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah mengintip ke tempat tidur Nabi. Mereka melihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan merekapun puas bahwa dia belum lari.
Tetapi, menjelang larut malam waktu itu, dengan tidak setahu mereka Muhammad sudah keluar menuju ke rumah Abu Bakr. Kedua orang itu kemudian keluar dari jendela pintu belakang, dan terus bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Bahwa tujuan kedua orang itu melalui jalan sebelah kanan adalah di luar dugaan.
Keesokan harinya Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut bergabung dalam rombongan.
Rombongan Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.
Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Ali r.a.
Setelah Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan berkuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupanya Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.
Melihat Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qureiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: "Hai penipu, apakah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."
Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: "Kalau aku tidak mau berbuat itu...?""Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!"
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul saudaraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.
Rasulullah menikahkan anaknya Fatimah ra, dengan Ali bin Abu Thalib, pasangan ini hidup bahagia dalam rumah tangga yang serasi di bawah bimbingan Nubuwah [kenabian] Rasulullah Saw.
Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?" "Fatimah! " Jawab Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Dalam hal kefahaman terhadap Islam maka Ali bin Abu Thalib adalah sahabat yang memiliki keistimewaan, dia adalah sahabat yang cerdas dan santun karena memang sejak awal dibimbing oleh Rasulullah Saw. Dikisahkan bahwa seseorang datang kepada Umar r.a. dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintai fitnah dan membenci yang haq dan bersaksi dengan apa yang tidak kulihat”. Umar menahannya sehingga kisahnya sampai kepada Ali r.a. Beliau berkata, “Wahai Umar, engkau telah menahannya dengan zalim”. Umar bertanya, “Mengapa begitu?” Ali menjawab, “Karena dia mencintai harta dan anak”. Allah berfirman, "Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah" (QS 8 : 28). Dia juga membenci kematian yang merupakan sesuatu yang hak. Allah berfirman, "Dan datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya" (QS 50: 19) dan dia bersaksi bahwa Allah itu Esa dan tidak dilihatnya”. Umar berkata, “Kalau tidak ada Ali, niscaya Umar akan binasa”. [Kecerdasan Ali dalam Memahami al-Qur’an(Dinukil dari: Muhammad Abu al-Yusr ‘Abidin. 2001. Hikayat-hikayat Sufi. Diterjemahkan oleh Rojaya. Bandung: Pustaka Hidayah)
Ali bin Abu Thalib adalah sahabat Rasulullah yang melanjutkan estafet kekhalifahan setelah Abu Bakar, Umar dan Usman, masing-masing sahabat ini memiliki kelebihan dan kemuliaan dalam Islam, maka kewajiban kita untuk memuliakan mereka sebagaimana Rasulullah telah memuliakan mereka dan memimpin umat ini setelah mangkatnya beliau.
Masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq ada dua tahun tiga bulan, masa kekhalifahan Umar sepuluh tahun setengah, masa kekhalifahan Utsman duabelas tahun, masa kekhalifahan Ali empat tahun sembilan bulan, dan masa kekhalifahan Hasan bin Ali enam bulan.
Kemudian raja kaum Muslimin yang pertama adalah Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu , dialah raja kaum Muslimin yang terbaik. Tetapi beliau menjadi Imam hanya setelah Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhuma menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Sebab (sebelum itu) Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhuma telah dibaiat oleh penduduk Irak setelah kematian bapaknya. Selanjutnya setelah enam bulan, Hasan menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu .
Dari situ tampaklah kebanaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersabda : Sesungguhnya anakku (baca: cucuku) ini adalah sayyid (orang terkemuka) dan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar (yang saling berperang) di antara kaum Muslimin. (HR.Bukkhari).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memuji Hasan (bin Ali) disebabkan perdamaian yang terjadi karena tindakannya. Lantaran itu beliau n menyebutnya sebagai sayyid, sebab yang dilakukan Hasan dicintai dan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Andaikata peperangan yang terjadi antar sesama kaum Muslimin merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tentu tindakan Hasan tidak akan dipuji (oleh Rasulullah n ), bahkan bisa jadi Hasan telah meninggalkan kewajiban atau meninggalkan sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah. Ini merupakan nash (dalil) shahih yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Hasan (bin Ali) adalah terpuji dan diridhai di sisi Allah dan rasul-Nya. [Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu Khalifah IV
Almanhaj.com Rabu, 3 Februari 2010 15:36:06 WIB].
akhir perjalanan manusia ditutup dengan kematian, bagi seorang muslim kematian yang diharapkan adalah syahid dalam mengemban agama Allah, ini pula yang dialami oleh para sahabat yang lain termasuk Ali bin Abu Thalib.
Bermula dari syahidnya Sayyidina Utsman bin Affan yang ditikam ketika sedang bertilawah, prahara yang mengguncang peradaban Islam itupun semakin menjadi-jadi. Maka, setelah beliau dimakamkan, para sahabat berselisih paham. Ada yang mengusulkan untuk memberikan Qishash kepada pemberontak, ada pula yang mendesak agar segera dilantik Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman – khalifah ke-empat. Atas persetujuan para Ahli Badar yang masih hidup, maka Ali-pun dilantik menjadi khalifah. Ketika itu bertempat di masjid.
Selama menjabat, kepemimpinan Ali tidak pernah sepi dari makar. Makar ini bersumber dari si munafik, na’udzubillahi min dzalik, Abdullah bin Saba’. Isu yang ia gulirkan masih seputar kebatilan pemerintahan Ali. Hingga puncaknya terjadilah perang Jamal dan perang Shiffin-perang saudara dalam sejarah kecemerlangan Islam. Ulama’ salaf bersepakat untuk tidak membicarakan perang ini lebih jauh, karena hanya akan menambah fitnah. Pasalnya, meski para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum saling beradu senjata, tapi hati mereka senantiasa bersatu padu dalam ketaatan pada Allah, hati mereka senantiasa berpelukan dalam kecintaan kepada Penciptanya. Mereka masih satu payung dalam menegakkan ajaran Islam itu sendiri.
Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah riwayat berikut. Ketika itu, Ali didatangi oleh seseorang yang tiba-tiba bertanya, “ Wahai Khalifah, Apakah orang-orang yang memberontak pemerintahanmu sekarang adalah orang musyrik?” Jawab Ali tenang, “ Bukan. Mereka adalah orang yang lari dari kesyirikan.” Karena tidak puas, orang tersebut melanjutkan tanyanya, “ Apakah mereka ( para pemberontak ) adalah orang-orang munafik?” dengan ketenangan yang tak berkurang dari sebelumnya, Ali menjawab tegas, “ Bukan. Karena orang munafik itu sangat sedikit sekali menyebut Allah.” Orang itupun kembali bertanya, “ Lalu, siapa mereka?” jawab Ali mengakhiri, “ Mereka adalah orang beriman yang tidak sependapat denganku.”
Sebuah jawaban yang sangat bijak. Potret sejati kepemimpinan dalam Islam. Jika saja yang ditanya bukan Ali, jawabannya pasti akan sangat berlainan. Apalagi ketika kekuasaan telah di tangannya.
Abdullah bin Saba’ sebagai gembong munafik, tidak berhenti menyebarkan fitnah. Sampai kemudian datanglah seorang khawarij bernama Abdullah bin Muljam. Diriwayatkan, ada seorang wanita khawarij yang dilamar oleh Abdullah bin Muljam. Wanita tersebut meminta mahar berupa kepala Sang Khalifah – Ali bin Abi Thalib. Maka, ia bergegas untuk mengasah pedangnya selama 40 malam. Sebuah niat keji yang sudah direncanakan dengan sangat baik.
Ketika masa 40 hari itu telah selesai, tibalah malam prahara itu. Malam prahara yang kelak mengantarkan sang khalifah kepada kesyahidan. Malam itu adalah malam 17 Ramadhan.
Seperti biasanya, Sang Khalifah menghabiskan malam dalam ketaatan. Tahajud, dzikir dan muhasabah. Ketika fajar telah menyingsing, beliau keluar rumah. Ketika keluar rumah, beliau mendengar suara gaduh, kokok ayam yang tidak seperti biasanya. Lalu, dengan ketajaman basyirahnya, beliau berkata kepada ayam-ayam tersebut, “Sesungguhnya aku akan menjemput syahid.”
Seketika itu juga, sebuah sabetan pedang menimpa tubuh kekar Sang Khalifah. Sebanyak tiga kali. Sehingga darah benar- benar membasahi sekujur tubuh beliau, sampai jenggot beliau pun berwarna merah karena darah yang membasahi.
Para sahabat pun bergegas menuju kegaduhan itu, maka di amankanlah Sang Khalifah menuju rumahnya, sementara sang pembunuh keji itu diringkus. Ketika melihat jenggotnya bersimbah darah, Sang Khalifah tersenyum sambil berkata, “ Wahai Nabi, janjimu sungguh benar.” Ia mengatakan itu karena teringat dengan sabda nabi ketika beliau masih hidup.
Maka, di hadapkanlah sang pembunuh kepada Ali. Dengan suara kejamnya, sang pembunuh berkata, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari untuk membunuhmu. Dan aku benar-banar telah melakukannya.” Dengan senyum khasnya, sambil menahan sakit karena tebasan pedang, Ali menjawab santai, “ Sesungguhnya, pedang itu tidak membunuhku. Karena kematianku bukan lantaran bacokan pedangmu. Pedang yang telah kau asah itu akan membunuh pengasahnya sendiri.”
Khalifah Ali-pun berkata kepada para sahabat yang hadir,” Jika Aku hidup setelah kejadian ini, maka biarkan dia – Abdullah bin Muljam – hidup. Namun, jika Aku mati, maka qishashlah ia dengan pedangnya sendiri.”
Dua hari setelah malam prahara itu, Sang Khalifah terbang. Beliau menemui tiga kekasihnya yang telah lama mendahuluinya : Rasulullah, Abu Bakar Ash Shidiq, Umar Bin Khattab dan Utsman bin Affan. Beliau benar-benar menjemput kematian dengan cara yang terindah : Syahid.
Ali bin Abi Thalib, adalah pribadi agung. Ia adalah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ali adalah menantu Nabi. Bahkan, ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman melamar Fathimah-anak nabi-, beliau menolak ke-tiganya karena nabi ingin menikahkan Fathimah dengan Ali. Nabi adalah gudang ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbang untuk memasuki gudang tersebut. Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda, “ Siapa yang memusuhi Ali, maka ia telah memusuhiku. Dan barangsiapa mencintai Ali, maka ia mencintaiku juga.”[Usman Alfarisi, Prahara Fajar: Sebuah Catatan Tentang Syahidnya Ali bin Abi Thalib, dakwatuna.com 17/10/2011 | 20 Zulqaedah 1432 H].
Kecintaan kita kepada para sahabat Rasulullah termasuk kepada Ali adalah kecintaan lantaran keimanan, sebab hal ini perintah Allah dan Rasul-Nya, semua sahabat itu memiliki kemuliaan dan kelebihan masing-masing yang dapat kita jadikan sebagai teladan dalam kehidupan ini, tentang keimanan dan keistiqamahan mereka memagang agama ini, kesiapan mereka untuk meninggalkan maksiat dari seluruh aktivitas kehidupannya serta kerinduan mereka meraih syurga dengan mengejar syahid dalam kematiannya, Walahu a’lam, [Cubadak Solok, 19 Jumadil Akhir 1433.H/11 Mei 2012.M].
Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar