Senin, 02 Juli 2012

12. Ibrahim


Drs. St. Mukhlis Denros

Nabi Ibrahim adalah bapak para nabi karena dari dua orang anaknya hingga keturunan berikutnya melahirkan pula para nabi dan rasul, dua orang anak beliau yang terkenal itu adalah Nabi Ishaq dan Nabi Ismail As.
Nabi Ibrahim adalah putera Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau' bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh a.s. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama "Faddam A'ram" dalam kerajaan "Babylon" yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama "Namrud bin Kan'aan."

Kerajaan Babylon pada masa itu termasuk kerajaan yang makmur rakyat hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang mahupun pandangan serta saranan-saranan yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mereka. Akan tetapi tingkatan hidup rohani mereka masih berada di tingkat jahiliah. Mereka tidak mengenal Tuhan Pencipta mereka yang telah mengurniakan mereka dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Persembahan mereka adalah patung-patung yang mereka pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.

Raja mereka Namrud bin Kan'aan menjalankan tampuk pemerintahnya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua kehendaknya harus terlaksana dan segala perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dapat dilanggar atau di tawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup yang berlebih-lebihan yang ia nikmati lama-kelamaan menjadikan ia tidak puas dengan kedudukannya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Ia berfikir jika rakyatnya mahu dan rela menyembah patung-patung yang terbina dari batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan dialah yang disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, dapat mendengar, dapat berfikir, dapat memimpin mereka, membawa kemakmuran bagi mereka dan melepaskan dari kesengsaraan dan kesusahan. Dia yang dapat mengubah orang miskin menjadi kaya dan orang yang hina-dina diangkatnya menjadi orang mulia. di samping itu semuanya, ia adalah raja yang berkuasa dan memiliki negara yang besar dan luas.

Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya lahir dan dibesarkanlah Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan pedagang patung. Ia sebagai calon Rasul dan pesuruh Allah yang akan membawa pelita kebenaran kepada kaumnya,jauh-jauh telah diilhami akal sihat dan fikiran tajam serta kesedaran bahawa apa yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya sendiri adalah perbuat yang sesat yang menandakan kebodohan dan kecetekan fikiran dan bahawa persembahan kaumnya kepada patung-patung itu adalah perbuatan mungkar yang harus di banteras dan diperangi agar mereka kembali kepada persembahan yang benar ialah persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam semesta ini.

Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calon pembeli dengan kata-kata:" Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini? "

Nabi Ibrahim as mendapatkan tempat khusus di sisi Allah SWT. Ibrahim termasuk salah satu nabi ulul azmi di antara lima nabi di mana Allah SWT mengambil dari mereka satu perjanjian yang berat. Kelima nabi itu adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw - sesuai dengan urutan diutusnya mereka. Ibrahim adalah seorang nabi yang diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang jelas. Yaitu ujian di atas kemampuan manusia biasa. Meskipun menghadapi ujian dan tantangan yang berat, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sebagai seorang hamba yang menepati janjinya dan selalu menunjukkan sikap terpuji.[Pak Ndak - Kisah Nabi-nabi Allah, Kisah Nabi Ibrahim]
Selain dikenal sebagai salah seorang rasul ulul azmi (yang memiliki keteguhan), beliau juga sering disebut sebagai Khalilullah (kekasih Allah) dan Abul Anbiya (bapaknya para nabi).

Perjalanan hidup manusia termulia setelah Nabi Muhammad SAW ini adalah sebuah perjalanan peneguhan tauhid. Ketaatan dan keimanan luar biasa yang dihadirkan oleh ayah dari dua nabi dengan dua ibu yang berbeda, yaitu Nabi Ismail (dari bunda Hajar) dan Nabi Ishaq (dari bunda Sarah) Alahimus Salam, ini adalah sesuatu yang berat ditunaikan oleh manusia pada umumnya. Sebuah keteladanan yang mesti kita serap dalam kehidupan kita.
Nabi Ibrahim selalu berpijak di atas kebenaran dan tak pernah berpaling meninggalkannya. Posisinya dalam agama sangat tinggi (seorang imam) dan selalu total dalam mengabdi. Beliau pun tak pernah lupa mensyukuri segala nikmat-Nya (QS an-Nahl: 120-121).

Nabi Ibrahim merupakan sosok pembawa panji-panji tauhid. Perjalanan hidupnya sarat dengan dakwah kepada tauhid dan segala liku-likunya (QS al-Mumtahanah: 4-5). Beliau selalu mengajak umatnya kepada jalan Allah serta mencegah mereka dari sikap taklid buta terhadap ajaran sesat nenek moyangnya (QS al-Anbiya: 52-58). Allah SWT memilihnya dan menunjukinya ke jalan lurus serta mengaruniakannya segala kebaikan dunia dan akhirat (QS an-Nahl: 121-122). Bahkan, Allah SWT mengangkatnya sebagai khalil (kekasih). (QS an-Nisa: 125).
Perjalanannya merupakan cermin pendidikan keagamaan yang disampaikan orang tua terhadap anak cucunya (QS al-Baqarah: 132). Bahkan, Nabi Ibrahim AS senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesalehan anak cucunya (QS Ibrahim: 35 dan 40).

Perjalanan hidupnya juga mengandung pelajaran berharga bagi para anak, karena beliau adalah seorang anak yang amat berbakti kepada kedua orang tuanya dan selalu menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan cara yang terbaik (QS Maryam: 42-45). Ketika sang bapak, Azar, sang pembuat patung Tuhan, menyikapinya dengan keras, Nabi Ibrahim tetap santun dan berdoa untuk kebaikan ayahnya (QS Maryam: 47).
Kisah Nabi Ibrahim AS juga mengandung pelajaran berharga bagi seorang ayah kepada anaknya bahwa selalu ada ruang untuk berpendapat atas setiap keputusan sang kepala rumah tangga kepada anak-anaknya. Perintah langsung Allah untuk menyembelih sang anak diberinya ruang berpendapat bagi anaknya (QS as-Saffat: 102).

Perjalanan hidup sang pencetus agama hanif ini adalah juga edukasi berharga bagi para suami istri. Asas membina kehidupan rumah tangga tidak lain di atas keridaan perintah Allah SWT. Hal ini tecermin dari dialog antara Nabi Ibrahim dan istrinya yang bernama Hajar, ketika Nabi Ibrahim membawanya beserta anaknya ke Kota Makkah yang masih tandus dan belum berpenghuni atas perintah Allah SWT. "Apakah Allah yang memerintahkanmu berbuat seperti ini?' Ibrahim menjawab, 'Ya.' Maka (dengan serta-merta), Hajar mengatakan, 'Kalau begitu Dia pasti (Allah) tidak akan menyengsarakan kami'." (Shahih Bukhari).[Ustadz Muhammad Arifin Ilham,Keteladanan Nabi Ibrahim,Republika.co.id. Sabtu, 05 November 2011 13:42 WIB].

Kita tentu ingat dengan kisah Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala kebanggaan kaum dari raja Namrud, seperti dikisahkan dalam surat Al Anbiya(21) ayat 58-60 berikut ini:“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zhalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.”

Nabi Ibrahim menghancurkan berhala dan berdakwah dengan totalitas dan pengorbanan yang tinggi ketika beliau masih muda. Inilah kurikulum pertama dari Universitas Ibrahim as, peran pemuda dalam mengubah kondisi suatu masyarakat. Pemuda yang berjuang dengan seluruh potensi yang ada, dan keberanian yang nyata. Pemuda yang mengubah kondisi masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat modern yang tersinari cahaya agama.

Kita tentu ingat tentang kisah Nabi Ibrahim as yang mendapat perintah untuk menyembelih anaknya, Ismail as, sebagai bentuk pengorbanan kepada Allah swt. Sebagaimana dalam surat Ash Shafat ayat 102 berikut ini:“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.”

Inilah salah satu bentuk keimanan yang tinggi kepada Allah swt, berupa pengorbanan dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya. Tidak hanya sekali itu, bahkan semasa dalam kandungan dan masih kecil pun, Ibrahim as telah berkorban dengan meninggalkan Hajar, istrinya, di lembah yang tandus tanpa pepohonan. Seperti dalam surat Ibrahim ayat 37:“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Pelajaran yang indah bukan? Bagaimana Ibrahim meninggalkan kesenangan dan kecintaan terhadap keluarga dan dunianya, hanya untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Maka, tinggalkanlah duniamu sementara ketika engkau mendapat panggilan adzan, ketika engkau mendapat panggilan qurban dan bersegeralah menuju panggilan Allah swt.[Fajar Fatahillah, Kurikulum Kehidupan dalam Universitas Ibrahim AS, dakwatuna.com 20/11/2011 | 23 Zulhijjah 1432 H].

Adalah Ibrahim as yang sudah berumur mengharapkan keturunan. Allah kemudian memberinya Isma'il. Bukan main girang dan bersyukurnya Ibrahim, ia mendapat karunia yang selama ini selalu dimintanya. Sampai akhirnya datang perintah hijrah ke tempat yang kini dikenal dengan Mekah. Ibrahim, Hajar, dan Isma'il pergi menuju padang gersang yang tak bertuan itu. Tiada penduduk, tiada tempat tinggal, tiada tanaman, tiada air. Di tempat itulah Ibrahim rela meninggalkan istri dan bayinya. Semua ia lakukan demi perintah Allah. Tak banyak bekal yang beliau tinggalkan, kecuali seteko air dan sekantong makanan.

Ibnu Katsir menceritakan, saat Nabi Ibrahim hendak berlalu, sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, "Apakah Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman lagi (tak bertuan)?" Ibrahim as terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini?" "Benar," jawab Ibrahim. Hajar menimpali, "Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami."

Sungguh sebuah dialog yang menusuk hati. Merefleksikan kedalaman iman. Tercermin ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan. Berhijrah meninggalkan kemapanan, dan barangkali rumah, pekerjaan, sanak keluarga serta nilai materi dunia lain, menuju tempat yang gersang tak bertuan, tak ada jaminan keamanan, tidak juga makanan dan minuman, apalagi sanak keluarga dan handai taulan. Sebuah sikap dan keputusan yang memancarkan nilai tawakal dan iman yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah yang Maha Menghidupkan, Maha Mematikan, Maha Memberi Rezeki. Meyakini dan mewujudkan keyakinan tersebut dalam praktik, tentu tidak semudah meyakininya dalam teori. Tidak semudah menghafal lafaz-lafaz asmaul husna. Ibrahim beserta keluarga tidak sedang berteori, tetapi tangah mengartikulasikan sebuah teori.

Sampai akhirnya terjadilah peristiwa bersejarah. Perbekalan air dan makanan Hajar habis. Isma'il a.s. menagis kehausan, karena ibunya tak lagi dapat mengeluarkan ASI. Sang ibu kelabakan, ia berlari berusaha mencari air di antara Bukit Shofa dan Marwa. Usahanya tak menuai hasil. Terjadilah mukjizat, isma'il menjejakkan kakinya, dan terpancarlah air. Hajar berseru, "Zummi? zummi? (berkumpullah)." Sang air kemudian mengumpul, jadilah ia telaga zam-zam. Dalam syariat haji, kesabaran dan keyakinan keluarga Ibrahim diabadikan dalam amal sa'i.

Selesaikah ujian? ternyata belum. Ketika Isma'il menginjak dewasa dan sampai pada umur sanggup berusaha bersama ayahnya, Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih sang anak. Ibrahim berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Sungguh sebuah perintah yang tiada terkira pengorbanannya, baik bagi sang bapak maupun sang anak. Keimanan keduanya ditantang. Pernyataan Isma'il sungguh memukau, "Ia menjawab: 'Hai Bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar'." (Ash-Shaffat: 102).

Akhirnya perintah itu ditunaikan. Saat Ibrahim hendak menyembelih anak kesayangannya, setan datang mengganggu. Ibrahim sadar akan gangguan, maka dilemparlah setan dengan batu. Gangguan terjadi hingga tiga kali. Peristiwa ini diabadikan dalam syariat haji berupa "lempar jumrah". Ketika mata pisau Ibrahim hendak menyentuh leher Isma'il, Allah menahan mata pisau itu dan menggantikannya dengan seekor domba. Kisah ini dikenang dalam syariat penyembelihan hewan kurban pada setiap musim haji.[Pengorbanan Ibrahim 'Alaihis Salam
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia, 02/14/2003].

Banyak teladan yang sudah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As beserta keluarganya dalam hal keimanan, ibadah, kesabaran dan pengorbanan sehingga setiap tahun khususnya pada hari raya Idul, Adha keteladanan Ibrahim jadi pijakan bagi ummat ini, bahkan sejak dahulu Allahpun memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengikuti syariat yang dibawa Ibrahim yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad Saw diantaranya menegakkan shalat dan menunaikan ibadah haji, bahkan menjadikan maqam Ibrahim tempat menegakkan shalat.

Makam Ibrahim bukan kuburan Nabi Ibrahim as sebagaimana banyak orang berpendapat. Maqam dalam bahasa Arab artinya tempat berdiri. Makam Ibrahim adalah tempat berdirinya Nabi Ibrahim saat membangun kembali Ka’bah. Makam Ibrahim merupakan bangunan kecil terletak di sebelah timur Ka’bah. Di dalam bangunan tersebut terdapat batu yang diturunkan oleh Allah dari surga bersama-sama dengan Hajar Aswad. Di atas batu itu Nabi Ibrahim berdiri di saat beliau meninggikan bangunan Ka’bah dari pondasinya. Nabi Ismail as membantu meletakkannya agar Nabi Ibrahim as dapat naik lebih tinggi di atas batu tersebut. Dan tempat pijakan dua kaki nabi Ibrahim itu dengan seizin Allah berbekas di atas batu tersebut dan masih tetap ada sampai sekarang.

Abu Thalib pernah berkata dalam satu qasidahnya yang berkaitan dengan Makam Ibrahim: Artinya, ” Pijakan Ibrahim tercetak di atas batu dengan jelas membentuk dua telapak kakinya yang telanjang tidak beralas”. Seperti yang telah kita ketahui bahwa bangunan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as tidak tinggi, bisa dijangkau oleh seseorang untuk naik ke atasnya dengan mudah, kurang lebih setinggi sembilan hasta. Ketika bangsa Quraisy membangun Ka’bah, mereka menambahnya menjadi delapan belas hasta. Abdullah bin Zubair menambahnya kembali menjadi dua puluh tujuh hasta dan setinggi itulah Ka’bah sekarang ini. Tataka Islam datang, Allah menganjurkan untuk solat di belakang maqam Ibrahim seperti firman Allah: وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَآ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ”Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud” (al-Baqarah:125).

Letak batu maqam Ibrahim dahulu menempel dengan dinding Ka’bah, kemudian pada zaman Umar bin Khatab r.a. dipindahkan ke belakang sehingga orang-orang yang salat di dekatnya tidak terganggu oleh arus orang-orang yang sedang thawaf. Perbuatan Umar bin Khattab ra tidak dibantah oleh para sahabat Nabi saw dan orang orang yang setelahnya, ini menunjukan terjadinya Ijma’. Demikian seterusnya Makam Ibrahim sangat terpelihara dan bertahan beribu-ribu tahun, kurang lebih sudah berusia sekitar 5.000 tahun. Dan sekarang ini sudah ditutup dengan kaca berbentuk kubbah kecil. Ukuran jejak kaki Ibrahim tidak besar, kurang lebih sama dengan ukuran kaki manusia saat ini. Bekas kedua tapak kaki Nabi Ibrahim yang panjangnya 27 cm, lebarnya 14 cm dan dalamnya 10 cm masih nampak dan jelas dilihat orang yang ingin sholat di belakang Makam Ibrahim usai melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah 7 kali. Abdullah bin Zubair ra pernah berkata: “Sungguh, aku tidak pernah melihat sesuatu yang mirip seperti miripnya telapak kaki Rasulallah saw dengan telapak kaki Ibrahim yang kami lihat di maqam”.

Begitu agung kepribadian yang terdapat pada Nabi Ibrahim sehingga banyak kurikulum yang dapat kita kutip dari sejarah perjalanan tokoh ini sebagaimana yang diungkapkan oleh DR. Ahjami Sami’un Jazuli di www.dakwatuna.com 20/11/2011 | 23 Zulhijjah 1432 H, beliau mengupas tentang eksistensi perjuanan Nabi Ibrahim As.
Ibrahim as mampu merealisasikan ketakwaannya kepada Allah swt dalam bentuk perbuatan, dalam amal kebaikan, dalam dakwahnya yang menyejarah. Itulah kurikulum kelima dalam Universitas ini.

Takwa, tidak hanya dalam bentuk ibadah, tapi juga dakwah dan tarbiyah yang menyeluruh, kepada keluarga dan masyarakat.
Inilah salah satu realisasi takwa, amal kebaikan individu yang konsisten dan amal kebaikan sosial yang menyebar kepada seluruh objek dakwah.
Dengan dakwahnya yang totalitas, beliau menjadi imam untuk seluruh umat, bahkan Rasulullah saw diperintahkan untuk mengikuti agama Ibrahim yang lurus.“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni’mat-ni’mat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.”

Seperti pada surat Al Mumtahanah ayat 4 berikut ini.“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;”
1. Ibrahim, ayah yang jujur
2. Ismail, anak yang taat
3. Siti Hajar, ibu yang sabar

Seperti di firmankan dalam surat 37 ayat 102, Ibrahim adalah seorang ayah yang jujur. Ketika beliau mendapat mimpi untuk menyembelih Ismail as, bisa saja ia berbohong dan mengabaikan mimpinya itu, karena tidak ada yang tahu selain Ibrahim sendiri. Namun, dengan keimanan dan kejujurannya, beliau mengabarkan hal tersebut kepada Ismail as dan keluarganya.
Ismail AS, seorang anak yang taat. Begitu mendengar mimpi Ibrahim as, Ismail berkata, ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Siti Hajar, ibu yang sabar. Bayangkan, Ismail adalah anak satu-satunya dan sangat disayang oleh Siti Hajar, namun, ketika mendengar perintah Allah untuk menyembelih Ismail as, Siti hajar bersabar. Inilah potret keluarga yang luar biasa. Inilah hasil tarbiyah dalam Islam. Keluarga yang terbaik.
Kita bisa mengambil pelajaran dari keluarga Ibrahim, keimanan, ketaatan, kesabaran, tidak lahir begitu saja, tapi hasil dari proses pembinaan yang panjang yang dilakukan oleh seluruh personel keluarga.

Sejarahpun mencatat bagaimana mukjizat yang diberikan Allah kepada Ibrahim dalam rangka membantu perjuangannya untuk menumbangkan kekuasaan tiran dan kafir di bawah kekuasaan Raja Namrudz, mukjizat itu adalah selamatnya Ibrahim dari pembakaran yang dilakukan oleh sang Raja serta selamatnya Ibrahim dari mempertahankan dienullah. Kehebatan Ibrahim dibicarakan oleh tiga agama yaitu Yahudi dan Nasrani serta Islam sesuai dengan versi masing-masing, Al Qur’an sebagai pijakan yang shahih, wahyu yang tidak diubah oleh siapapun menempatkan Ibrahim sebagai Nabi Mulia dengan julukan Khalilulah yaitu kekasih Allah, Wallahu A’lam [Cubadak Solok, 28 Jumadil Akhir 1433.H/ 20 Mai 2012.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar